Yang Hidup dan Mati untuk Ilmu; Sebuah Salinan Tulisan dari Habiburrahman El Syirazy



*)Tulisan dibawah ini bukan tulisan saya. Saya hanya mengetik ulang dari koran yang saya simpan sejak 2008 lampau. Koran Sindo terbitan tahun 2008 ini memuat kolom khusus yang ditulis oleh pujangga kondang asal Indonesia, Habiburrahman El Syirazy. Terus terang, saya adalah salah satu penggemar berat beliau sejak saya masih SMK dulu. Berikut adalah tulisan beliau dikolom koran Sindo dengan judul “Yang Hidup dan Mati untuk Ilmu”.


Salah satu anugerah agung dari Allah SWT yang saya dapat ketika belajar di Mesir adalah, saya bisa mengenal bagaimana para ulama dan cendikiawan dahulu begitu dahsyat mencintai ilmu dan buku. Saya mengagumi mereka sebagai manusia-manusia yang hidup dan matinya sepenuhnya untuk ilmu pengetahuan. Manusia yang sangat susah dicari semisalnya dizaman sekarang. Jenis manusia-manusia langka.

            Saya masih sering menyediakan waktu membuka-buka sejarah hidup mereka. Tak lain dan tak bukan adalah untuk mengambil semangat dan energi positif dari mereka. Di antara mereka, ada seorang cendikia yang dikenal sebagai pembaca semua jenis buku. Orang-orang dizamannya sampai beranggapan bahwa dibawah kolong langit ini dialah yang paling banyak membaca buku. 

            Mereka menjulukinya Al Khazin, yang artinya “gudang”. Sebab ia dikenal sebagai gudangnya ilmu. Kepalanya seolah-olah gudang yang berisi ribuan buku. Cendikiawan ini banyak menulis karya berharga. Diantara karyanya yang sangat terkenal adalah sebuah tafsir, dikenal dengan nama Tafsir Al Khazin.

            Ada seorang penjaga perpustakaan yang mengukir sejarah yang menggetarkan jiwa. Ya, ia hanyalah seorang penjaga perpustakaan yang biasa saja. Siapa pun yang mengenalnya tak terlihat ada yang istimewa pada dirinya. Rutinitasnya tampak biasa-biasa saja. Antara rumah dan perpustakaan. Namun ada satu hal yang tidak diketahui banyak orang, bahwa dia adalah seorang penjaga perpustakaan yang haus ilmu. Sambil menjaga perpustakaan, dia kadang melahap buku dengan rakusnya setiap hari. Bertahun-tahun ia menjalani rutinitas itu; “melahap” buku setiap hari. 

            Setiap kali selesai membaca buku, dia menuliskan semacam resensi singkat dan hal-hal penting dari buku yang dia baca. Ia juga rajin memberi komentar, juga sanggahan kecil pada hasil bacaannya. Begitu terus. Tak terasa puluhan ribu buku dia baca dan catatannya itu juga beribu-ribu halaman.

            Ia juga telah memberi komentar penting tentang banyak masalah dalam pelbagai cabang ilmu. Terutama sejarah dan bahasa Arab. Catatan-catatan itu dia beri judul Al Fihris, artinya daftar isi. Setelah dia meninggal, Al Fihris yang berjilid-jilid itu jadi salah satu rujukan terpenting dalam ilmu keislaman dan sastra Arab.

            Al Fihris yang berjilid-jilid itu mendapat banyak pujian dari cendikia dan ulama setelahnya. Sampai sekarang Al Fihris termasuk karya penting bagi dunia Arab dan dunia Islam. Penjaga perpustakaan yang keluasan ilmunya diakui dan dipuji banyak ilmuwan itu adalah Imam Ibnu Nadim. Setelah ia meninggal, dan catatannya dibaca orang, barulah sejarah mencatat bahwa Ibnu Nadim yang bersahaja itu bukanlah orang sembarangan. Ia seorang ilmuwan yang brilian.

            Di Kufah, ada ilmuwan pakar bahasa, sastra, hadits, dan qira’ah yang sangat dikenal tidak mau berpisah dengan buku. Kemana saja dia selalu membawa dan membaca buku. Hanya ketika buang hajat saja, dia berpisah dengan buku. Dia adalah Imam Tsa’lab Syaibani Al Kufi.

            Bahkan, jika Imam Tsa’lab diundang seseorang, dia selalu mensyaratkan agar diberi tempat khusus untuk bisa meletakkan dan membaca buku yang dibawanya. Karena kecintaannya pada buku, Imam Tsa’lab pun meninggal karena konsentrasinya membaca buku. Di dalam kitab Wafayatul A’yan, dikisahkan, bahwa penyebab kematian Imam Tsa’lab adalah; ia baru saja keluar dari masjid usai shalat asar pada hari Jum’at. Saat itu ia sedang menderita gangguan pendengaran sehingga tidak mendengar, kecuali suara yang keras dan sangat dekat dengan telinganya. Ketika itu ditangannya ada sebuah buku. Dan ia sangat asyik membacanya sambil berjalan. Konsentrasinya sepenuhnya terpusat pada buku yang ia baca. Ternyata, tanpa ia ketahui ada seekor kuda berlari kencang kearahnya. Ia sama sekali tidak mendengar derap kaki kuda yang meluncur kearahnya. 

            Akhirnya tanpa bisa dicegah, ia tertabrak kuda itu dan terpental jatuh ke parit. Orang-orang berusaha menolongnya. Namun keadannya benar-benar kritis, ia mengeluh sakit di bagian kepala. Ia meninggal dua hari berikutnya karena sakit yang dideritanya akibat kejadian itu. 

            Lain lagi dengan Al Jahidh, pujangga yang dikenal menguasai dan medalami pelbagai cabang ilmu. Sejarah mencatat bahwa tidak banyak manusia yang bisa menandingi Al Jahidh dalam hal membaca. Dalam kitab Siyar A’lam Nubala ditulis bahwa jika Al Jahidh mendapati sebuah buku, apapun tema buku itu, ia akan langsung membacanya sampai selesai. Ia bahkan sampai menyewa sejumlah toko buku agar dapat bermalam didalamnya untuk dapat membaca dan mengenali buku-buku yang ada di dalamnya. 

            Pujangga yang telah menulis ratusan buku dalam pelbagai cabang ilmu ini, menurut Emil Nashif dalam bukunya Arwa’ Ma Qila Fil Fadhail, meninggal dunia karena tertimpa tumpukan ratusan buku yang ambruk di dalam perpustakaannya.

            Saya yakin jika anak bangsa ini banyak yang memiliki rasa cinta kepada ilmu dan buku yang mendalam seperti Al Khazin, Ibnu Nadim, Imam Tsa’lab, dan Al Jahidh, maka peradaban mulia akan benar-benar hadir di persada Nusantara ini.

            Rasanya negeri ini lebih membutuhkan manusia-manusia yang hidup dan mati untuk ilmu dan kemajuan peradaban daripada yang hidup dan mati sekadar untuk menang pemilu dan jadi presiden. (*)


Singapura-Jakarta, 7 Juli 2008.

Comments

Popular Posts