Rumah Panggung di Lampung Selatan; Sebuah Arsitektur Rumah Tradisional Tahan Gempa



Beberapa hari yang lalu saya melihat berita ditelevisi tentang peristiwa gempa bumi yang terjadi di kabupaten Tanggamus, Lampung (6/5), yang berkekuatan 5,3 skala richter. Kebetulan sekali beberapa hari sebelumnya saya sempat membuka-buka arsip Koran Kompas saya yang salah satunya membahas tentang masalah kegempaan di Indonesia. Koran Kompas tertanggal 21 April 2012 menyuguhkan rubrik khusus berjudul “Ekspedisi Cincin Api – Patahan Sumatera; Hidup Bertaut Maut di Jalur Gempa”.

Secara khusus di rubrik ini Kompas berusaha mengupas tuntas masalah kegempaan di pulau Sumatera. Banyak data statistik yang akurat disuguhkan yang diambil dari Litbang Kompas dan salah satu halamannya-pun membahas sejarah gempa bumi di provinsi Lampung. Dari sekian banyak data dan pemaparan yang disuguhkan, saya paling tertarik pada bahasan tentang bagaimana masyarakat terdahulu atau masyarakat tradisional di Sumatera – tentunya disini juga termasuk masyarakat tradisional Lampung – beradaptasi dengan alamnya yang memang rawan akan gempa bumi. Namun sebelum saya membahasnya secara khusus, mari kita lihat permasalahan gempa bumi ini dari general overview-nya, terutama kondisi geografis pulau Sumatera berdasarkan artikel-artikel yang ada di rubrik Kompas ini. 


Berdasarkan pemaparan Kompas, pulau Sumatera terletak pada lempeng Eurasia yang selalu bergerak aktif dengan lempeng Indo-australia dan hal ini membuat pulau Sumatera selalu dihadapkan pada peristiwa gempa bumi. Khusus untuk provinsi Lampung sendiri, daerah yang paling rawan gempa bumi memang terletak pada kabupaten Lampung Barat, Pesisir Barat dan Tanggamus, karena ketiga kabupaten tersebut terletak tak jauh dari jalur patahan yang berada di Bukit Barisan Selatan. Litbang Kompas mencatat ada dua peristiwa gempa bumi besar yang pernah terjadi di Bumi Rua Jurai; pertama ditahun 1994, terjadi di Liwa yang merenggut 207 korban jiwa dan tahun 2007 terjadi di Pesisir Selatan, Lampung Barat yang merenggut 10 korban jiwa. Sebenarnya data tersebut juga menyajikan data peristiwa gempa bumi di provinsi Lampung yang berskala kecil dibeberapa kabupaten lain di Lampung namun Litbang Kompas mencatat bahwa 2 peristiwa gempa bumi diataslah yang paling besar dampaknya. Termasuk didalamnya juga kabupaten Lampung Selatan - walau tak memiliki intensitas kejadian gempa bumi sesering yang dialami 3 kabupaten yang disebutkan diawal -  namun terlepas dari hal tersebut, Lampung Selatan juga termasuk salah satu kabupaten yang sering dilanda gempa bumi.

Adaptasi Arsitektur Rumah melalui Rumah Saibatin

Pemaparan yang menarik adalah, ternyata masyarakat tradisional di Sumatera, khususnya masyarakat tradisional di Lampung, telah secara turun-temurun mengembangkan teknik arsitektur rumah tradisonal tahan gempa sebagai wujud pengadaptasian terhadap bencana gempa bumi tersebut. 

“Jejak adaptasi itu masih bisa dilihat dari rumah-rumah tradisional Saibatin di desa Sebarus, kecamatan Balik Bukit, kabupaten Lampung Barat.
Rumah kayu ini berbentuk panggung dengan panjang sekitar 20 meter dan lebar 9 meter. Terdiri atas tiga kamar, beranda depan, ruang tamu, ruang keluarga, tempat makan atau dapur, dan ruang tambahan dibelakang rumah.” (Kompas, 21 April 2012; Hal. 41).
Lebih lanjut, masih diartikel yang sama, Kompas memaparkan teknik pembuatan rumah Saibatin yang tekniknya dibuat berbeda dengan teknik pembuatan rumah modern pada umumnya.

“Tulang dan rangka utama terbuat dari kayu utuh tanpa sambungan. Tidak ada paku, kecuali untuk memasang engsel pintu atau jendela. Persambungan antar kayu dibuat pengait dan pasak kayu” (Kompas, 21 April 2012; Hal. 41).
Tujuan dari pengaplikasian gaya arsitektur rumah tradisional ini adalah untuk mengurangi dampak gempa ketika gempa bumi terjadi.

“Walaupun tiang-tiang rumah kayu itu roboh, bangunan diatasnya tetap utuh sehingga penghuninya tetap aman. Berbeda dengan rumah tembok yang jika roboh mengubur penghuninya.” (Kompas, 21 April 2012; Hal. 41).
Hampir seluruh rumah tradisional disepanjang jalur patahan Sumatera menggunakan teknik arsitektur seperti yang diterangkan diatas dengan cirri-ciri umum yaitu rumah berbentuk panggung, berbahan kayu dengan tiang utama ditumpukkan diatas batu, sambungan direkatkan dengan pasak atau ikatan, dan atap ringan sejenis ijuk (Hal.41).

Pemilihan kayu untuk bangunan tradisional inipun tak sembarangan. Di kabupaten Lampung barat sendiri, kayu yang dipilih untuk membangun rumah Saibatin adalah kayu Tenam (Anisoptera Costata Corth) atau masyarakat disana lebih mengenalnya sebagai kayu Mersawa (Hal.41). Di Lampung Selatan sendiri, pembuatan rumah tradisional ini menggunakan kayu pilihan yaitu kayu Merbau. Pemilihan kedua kayu diatas didasarkan pada alasan bahwa kedua kayu tersebut memiliki serat yang rapat dan cukup kuat sebagai tiang dan bahan dasar bangunan rumah.

Nasib Rumah Saibatin Di Lampung Selatan Kini

Terlepas dari minimnya intensitas gempa bumi di kabupaten Lampung Selatan, adanya rumah tradisional sebatin (atau di Lampung Selatan lebih dikenal dengan sebutan rumah Panggung) ini telah membuktikan bahwa masyarakat Lampung Selatan juga pernah (kalau tak disebut sering) mengalami bencana gempa bumi dan mereka berusaha beradaptasi dengan cara membangun rumah tradisional sejenis ini. Namun seiring dengan berkembangnya zaman, teknik arsitektur rumah tradisional tahan gempa ini perlahan mulai ditinggalkan. Sebagian besar masyarakat di Lampung Selatan lebih memilih untuk membangun rumah berjenis rumah beton. Ada banyak faktor yang melatar belakangi perubahan orientasi gaya arsitektur ini, namun berdasarkan pemaparan Kompas dan ditambah oleh opini dari penulis, ada 3 faktor besar yang melatarbelakangi fenomena tersebut:

a     a. Gaya hidup. Ada pergeseran persepsi sosial disebagian besar masyarakat di Lampung Selatan bahwa memiliki rumah panggung atau rumah Saibatin adalah lambang keterbelakangan atau kemiskinan, sedangkan rumah berbahan beton dianggap atau diasosiasikan sebagai simbol kemakmuran.
b    b. Tujuan awal dibuatnya rumah panggung adalah untuk menahan gempa dan mengurangi dampak kerusakan pasca gempa, sedangkan pada kenyataannya bahwa di Lampung Selatan sendiri intensitas/frekuensi gempa bumi bisa dikatakan sedikit atau tak sesering yang terjadi di Lampung Barat, Tanggamus dan Pesisir Barat. Hal ini membuat masyarakat di Lampung Selatan mulai mengabaikan pentingnya rumah Sebatin sebagai rumah yang bersifat preventif terhadap gempa bumi.

c   c. Ongkos pembuatan dan pemeliharaan rumah berbahan kayu sejenis rumah Sebatin atau rumah Panggung ini tidak sedikit, sedangkan jenis kayu seperti Mersawa dan Merbau populasinya di alam semakin langka yang tentunya juga membuat harga kayu ini melonjak naik. Masyarakat di Lampung khususnya di kabupaten Lampung Selatan tentunya lebih memilih bahan atau haya arsitektur rumah alternatif yang akhirnya jatuh pada rumah bertipe beton yang sebagian besar bahannya adalah besi dan batu bata.

Menurut penelitian personal penulis, di kabupaten Lampung Selatan hanya ada beberapa pekon (desa) saja yang sebagian besar rumahnya masih mempertahankan rumah panggung, sebagai contoh adalah desa Tataan, desa Sukaratu khususnya dusun Way Kuyung, dan desa Kecapi. Tentunya data ini perlu dilengkapi karena penulis hanya mengbservasi didaerah-daerah sekitar kecamatan Penengahan dan kecamatan Kalianda saja (mungkin komentar-komentar dari teman dibawah dapat melengkapi kekurangan artikel ini). 

Sebagai kesimpulannya, perlu diakui bahwa rumah tradisional tahan gempa seperti rumah Saibatin di Lampung telah terbukti dapat menahan laju kerusakan saat gempa terjadi dan dapat mengurangi dampak kerusakan setelahnya, namun eksistensinya kini mulai pudar seiring dengan banyaknya faktor diatas. Semoga rumah tradisonal ini tak hanya menjadi ikon daerah saja namun juga dapat menjadi sarana dalam mengurangi dampak bencana gempa bumi kini dan dimasa mendatang.

Daftar Pustaka

Setyahadi, Agung, dkk. 2012. Patahan Sumatera; Hidup Bertaut Maut di Jalur Gempa. Kompas, Halaman 38-41.


Comments

Popular Posts