Konflik Status Tanah Adat; Mengurai Ketidakjelasan Implementasi Peraturan

*Tulisan ini cuma ulasan sederhana, tidak mendalam, hanya sarana menyampaikan opini

Masih segar dalam ingatan, sekitar pertengahan tahun 2013, masyarakat Lampung Selatan bergejolak dengan adanya rencana pengeboran dan kegiatan eksplorasi panas bumi yang akan dilakukan oleh PT.Supreme Energy. Gelombang protes tersebut terjadi karena perusahaan tersebut diduga melakukan eksplorasi di kawasan hutan lindung dan hutan adat warga yang ada di sekitar gunung Rajabasa, terutama di sekitar desa Sukaraja, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan (Tempo mobile, 2013). Berbagai cara dilakukan oleh warga dalam menggalang protes, dari unjuk rasa langsung ke pusat kegiatan eksplorasi hingga mengadu ke PTUN Jakarta yang menghasilkan gugatan dengan nomor perkara 152/G/2014/PTUN-JKT (Teraslampung.com, 2014). Contoh konflik antara masyarakat adat melawan korporasi yang terjadi di Lampung Selatan hanyalah contoh kecil saja dari carut-marutnya pelaksanaan pemberian dan pengakuan status tanah adat di Indonesia. Masih banyak daerah-daerah lain di Indonesia yang juga menghadapi permasalahan yang menyangkut status tanah adat; entah itu tanah adat versus tanah milik perusahaan kelapa sawit, tanah adat versus tanah milik perusahaan geothermal dan lain-lain, semuanya bermuara dalam satu masalah besar yaitu implementasi peraturan tentang tanah adat yang belum jelas.

Pengakuan tanah adat berasal dari pemikiran orang Belanda? 

Sebagai negara yang memiliki keanekaragaman suku dan budaya, sudah seharusnya memang Indonesia mawas diri jauh-jauh hari akan penghormatan dan pengakuan atas eksistensi masyarakat adatnya. Tanah adat adalah salah satu produk kearifan lokal yang berasal dari kebudayaan yang ada di Indonesia. Tanah tersebut dikuasai secara turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain dan masih terjaga hingga kini. Mirisnya, berdasarkan sejarah, orang yang pertama kali mengupayakan akan pengakuan status tanah adat di Indonesia (saat itu masih Hindia Belanda) adalah orang Belanda yang notabene adalah golongan penjajah di Indonesia. Saya pernah mendapatkan permintaan untuk menerjemah suatu buku yang berjudul “Orang Indonesia dan Tanahnya” karangan dari Cornelis van Vollenhoven. Bagian yang saya terjemahkan waktu itu adalah halaman pengantar penerbit setebal 7 halaman. Dalam terjemahan yang saya buat tersebut  dijelaskan bahwa orang yang pertama kali mengajukan usulan untuk diakuinya eksistensi tanah adat di Hindia Belanda adalah Cornelis van Vollenhoven. Beliau adalah guru besar Hukum Adat, Universitas Leiden, Belanda. 

Usaha ini didasari dari fakta bahwa van Vollenhoven sangat miris melihat nasib para masyarakat adat terutama tanah adat mereka yang dirampas oleh pemerintah kolonial setelah pengimplementasian Hukum Agraria (pelanggaran-pelanggaran tersebut oleh van Vollenhoven dijabarkan dalam dua istilah yaitu Bouwvelden dan Woeste Gronden). Segi kemirisannya bukan dari pihak mana yang lebih dahulu menginisiasi pengakuan atas tanah adat - karena pada kenyataannya ketika van Vollenhoven melancarkan kritiknya kepada pemerintah kolonial Belanda, Indonesia belum merdeka – namun lebih kepada itikad baik dari pemerintah Indonesia dalam pengakuan atas status masyarakat adat beserta tanah adatnya ketimbang van Vollenhoven. Indonesia baru benar-benar secara konstitusional mengakui hak masyarakat adat dan tanah adatnya tahun 2013 dan itupun melalui suatu gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Adalah AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) yang mengajukkan uji materi terhadap UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ke pemerintah Indonesia melalui Mahkamah Konsitusi (hukumonline.com, 2013) yang mana isinya adalah tuntutan agar pemerintah Indonesia mengakui hak masyarakat adat dalam mengelola tanah adatnya dan mengeluarkan tanah adat dari status sebagai tanah milik negara. 

Gugatan tersebut berhasil dimenangkan AMAN dan aliansinya di MK sehingga secara resmi dinyatakan bahwa pemerintah Indonesia mengakui hak masyarakat adat dan tanahnya seperti yang dijelaskan pada pernyataan dibawah ini:

“Mahkamah berpendapat harus ada pembedaan perlakuan terhadap hutan negara dan hutan adat, sehingga dibutuhkan pengaturan hubungan antara hak menguasai negara dengan hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur peruntukan, pemanfaatan, dan hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara.” (hukumonline.com, 2013)     

Maka, bila melihat kesimpulannya, harusnya pemerintah Indonesia, sejak dikeluarkannya keputusan MK tersebut, berinisiatif untuk melakukan pemetaan tanah adat yang ada di Indonesia bekerjasama dengan aliansi masyarakat adat di masing-masing daerah beserta dengan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Namun, hingga saat ini, belum ada kegiatan pemetaan hutan adat yang dilakukan oleh pemerintah, dan kalaupun ada, jumlah datanya masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan luas keseluruhan tanah adat yang diklaim di Indonesia. 

Bagaimana mekanisme pemetaannya?


Masih dalam artikel yang dibuat oleh hukumonline.com, sebenarnya ada beberapa cara/mekanisme yang dapat ditempuh oleh para pemangku kepentingan dalam melaksanakan pemetaan tanah adat. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pasal 3, ada tiga syarat umum yang mesti dipenuhi agar suatu tanah dapat diakui sebagai tanah adat (hukumonline.com, 2012):

a) Sepanjang kenyataannya masyarakat hukum adat itu masih ada;
b) Sesuai dengan kepentingan nasional dan negara
c) Tidak bertentangan dengan UU dan peraturan yang lebih tinggi

Bila melihat penjabaran detailnya, jujur prosedur itu memang agak sulit. Untuk melakukan pemetaan tanah adat, semua kelompok yang berkepentingan mesti duduk bersama dalam membahas rencana tersebut. Ada banyak instansi yang mesti diikutsertakan dalam proses pemetaan dan pembuatan peraturan mengenai tanah adat, antara lain yaitu DPRD, Pemerintah Daerah (Pemda), BPN (Badan Pertanahan Nasional), pakar hukum adat dan masyarakat hukum adat dan lainnya. Bila melihat kondisi seperti saat ini dimana belum ada pelaksanaan pemetaan tanah adat yang serius, maka potensi konflik yang disebutkan diawal tulisan sangat mungkin akan berulang.

Bila pemetaan tanah adat segera dilaksanakan, sangat mungkin bahwa konflik-konflik yang melibatkan perusahaan dan masyarakat adat akan dapat segera mereda, masyarakat adat juga tak perlu merasa was-was bahwa tanah mereka akan diserobot tiba-tiba oleh perusahaan karena garis batas tanah adat mereka sudah jelas dan sudah ada payung hukum yang menaunginya. Namun bila yang terjadi adalah belum adanya pemetaan tanah adat yang serius, maka jangan kaget bila dikedepannya, konflik-konflik seperti yang terjadi di desa Sukaraja tahun 2013 lalu akan berulang di daerah lain.

Daftar Pustaka


Arrazie, Arrochman. 2013. ”Masyarakat Adat Lampung Tolak Proyek Panas Bumi”. https://m.tempo.co/read/news/2013/05/29/058484292/masyarakat-adat-lampung-tolak-proyek-panas-bumi. Diakses pada 19 Juni 2017

Bawono, Adi Condro. 2012. “Prosedur Pengakuan Tanah Ulayat”. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f1654e73aad1/prosedur-pengakuan-tanah-ulayat. Diakses pada 19 Juni 2017

Sahbani, Agus. 2013. “MK Tegaskan Hutan Adat Bukan Milik Negara”. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5194c9568b9f7/mk-tegaskan-hutan-adat-bukan-milik-negara. Diakses pada 19 Juni 2017

Teras Lampung. 2014. “Tolak Eksplorasi Panas Bumi Gunung Rajabasa, Masyarakat Adat Wayhandak Ajukan Gugatan ke PTUN”. https://www.teraslampung.com/tolak-eksploitasi-panas-bumi-gunung/. Diakses pada 19 Juni 2017

Vollenhoven, C. van. 2013. Orang Indonesia dan Tanahnya. Diterjemahkan oleh: Soewargono. Bogor: Sagojyo Institute



Comments

Popular Posts