Indeks Pembangunan Manusia Indonesia dan Kaitannya dengan Fenomena Musa vs Lilyana Tontowi
Salah
satu indikator kemajuan suatu negara adalah sumberdaya manusianya yang baik.
Dengan kualitas sumberdaya manusia yang baik, suatu negara dapat bersaing
dengan negara lain karena kemampuan manusianya tak kalah baik dengan manusia
negara lain, sehingga ketika dihadapkan pada suatu masalah yang bersifat
multi-bangsa dan lain-lain, manusia negara tersebut selalu bisa menyesuaikan
diri dengan situasi dan cepat dalam mencari solusi terbaik demi kepentingan
bangsa dan negaranya. Kemampuan adaptasi terhadap dinamika internasional adalah
salah satu modal penting keberlangsungan suatu bangsa di abad ke-21 ini.
Setiap
tahunnya, Perserikatan Bangsa Bangsa atau PBB melalui salah satu lembaganya
yaitu UNDP (Badan PBB untuk Program Pembangunan) merilis Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) setiap negara, lebih tepatnya 188 negara. Saya menemukan ulasan
tentang posisi IPM Indonesia tahun 2015 yang lalu di harian Kompas (27/8).
Dalam paparan yang disajikan Kompas, posisi IPM Indonesia berada pada peringkat
110 dari 188 negara (data tahun 2014). Posisi ini terbilang buruk karena dengan
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih dikisaran 4-5% pertahun, Indonesia
masih berada pada level dibawah 100. Dikawasan ASEAN, posisi Indonesia tak
lebih baik dari tetangga-tetangganya, Singapura berada pada urutan 11, Malaysia
pada urutan 62, dan Thailand di urutan 90. Ada tiga indikator utama yang
diterapkan oleh UNDP untuk menentukan IPM suatu Negara yaitu: berusia panjang
dan sehat, berpengetahuan dan hidup layak.
Merujuk
pada pemaparan Kompas, persoalan mendasar yang membuat posisi IPM Indonesia tidak
kunjung membaik adalah masalah pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
“Peluang Indonesia untuk
menyalip bangsa lain terbuka. Namun, masalah dasar sektor kesehatan dan
pendidikan harus dituntaskan. Pertumbuhan ekonomi tinggi pun mesti dijaga.”
(Kompas, 27 Agustus 2015; Hal. 14)
Masalah-masalah
kesehatan banyak dijelaskan oleh Kompas seperti angka kematian (mortalitas)
bayi dan balita Indonesia yang masih tinggi yang juga erat kaitannya dengan
pernikahan usia dini dan kualitas sanitasi. Namun artikel ini tidak akan
membahas semua masalah yang dimiliki oleh Indonesia sehingga posisi IPM negara
ini masih dibawah 100. Artikel ini hanya akan membahas masalah pendidikan di
Indonesia berdasarkan pemaparan Kompas yang diambil dari paparan UNDP dan
kaitannya dengan fenomena yang menjamur di dunia maya akhir-akhir ini, yaitu
masalah meme-meme yang coba
membanding-bandingkan antara sosok Musa dengan pebulu tangkis ganda Indonesia,
Lilyana dan Tontowi Ahmad.
Menurut
saya pribadi, kita tidak bisa menafikkan fakta bahwa fenomena-fenomena membandingkan
peristiwa satu dengan peristiwa lain yang “lintas sektor” ini juga erat
kaitannya dengan kualitas pendidikan yang Indonesia miliki sekarang, dan saya
coba menghubungkannya dengan analisis sederhana di artikel ini.
Indonesia Baru di Level Menghafal!
Pernyataan
menohok diatas bukan pernyataan pribadi saya melainkan dari penjelasan Kompas.
Berdasarkan pemaparan Kompas, ada sejumlah perbaikan yang dilakukan Indonesia
dalam bidang pendidikan, salah satunya adalah perubahan parameter rata-rata
lama sekolah menjadi angka harapan sekolah (AHLS) telah mendorong perbaikan IPM
Indonesia. Namun untuk menjaga AHLS ini, pemerintah Indonesia butuh memperbaiki
kualitas infrastruktur pendidikan dan pengajarnya (Kompas, 27/8).
Lebih
lanjut, Kompas menerangkan bahwa kualitas pendidikan Indonesia juga masih
rendah.
“Laporan
Programme Internasional of Student Assessment 2012 di 65 negara menunjukkan, 85
persen anak Indonesia usia 15 tahun hanya mampu berpikir di tingkat rendah dan
amat rendah. Sebaliknya, 75 persen siswa Taiwan punya kemampuan berpikir tinggi
dan canggih.” (Kompas, 27 Agustus 2016)
Lebih
lanjut, Kompas menjelaskan bahwa kemampuan berpikir siswa Indonesia berada di
level terendah yaitu menghafal dan siswa-siswa Indonesia belum pada level memahami
konsep dan analisis. Tanpa bermaksud untuk menjeneralisasi semua orang
Indonesia, menurut saya, bahkan ada banyak diantara kita yang masih berada pada
level “melihat” saja, terbukti bahwa meme
Musa vs. Llilyana-Tontowi ini adalah bukti nyata bahwa beberapa diantara
manusia negara ini masih malas untuk mengerti konsep tentang struktur
pemerintahan Indonesia dan malas menganalisa tugas pokok masing-masing struktur
pemerintahan kita. Saya adalah salah satu pengkritik vokal fenomena ini, saya
rasa, sesat pikir seperti ini bukan saja menyesatkan orang lain, tapi juga
menjadi lampu merah kualitas pendidikan Indonesia secara keseluruhan. Maaf,
silakan tersinggung dengan artikel saya!
Beberapa
diantara kita masih pada level melihat dan langsung mencerna, dan level
pengkonsepan dan analisanya dihilangkan. Mohon maaf sekali lagi, masalah Musa
vs Lilyana-Tontowi murni bukan masalah agama saya rasa, karena Musa dan Tontowi
sama-sama muslim dan kalau mau dirunut “sejarah”-nya, meme-meme dangkal seperti ini sebenarnya sudah banyak bertebaran
seperti Bom Paris vs Bom Ankara, Bom Paris vs Bom Mogadishu dll. Dan hal yang
paling tidak bisa diterima adalah, ada beberapa diantara kita yang coba
mengecilkan arti persamaan hak terhadap belas kasihan dan kemanusiaan hanya
dengan bermodalkan kedok agama. Hal ini tidak hanya menghilangkan sisi
pencerahan dari suatu kasus, tapi juga membuat keadaan menjadi lebih buruk;
meningkatkan sentimen dan rasisme.
Relevansi Peristiwa
Bila
orang-orang sejenis ini sebenarnya mau menggunakan daya konsep dan analisanya,
sebenarnya tak ada kaitannya antara si Musa dan Lilyana –Tontowi. Hal ini
terjadi kebetulan saja karena keduanya kebetulan menjadi “spotlight” masyarakat
secara bersamaan (time-setting yang hampir bersamaan). Namun yang menjadikan
keduanya booming adalah karena
keduanya memiliki latar belakang kompetisi yang berbeda dan ada isu agamanya
disana. Musa ke perlombaan mancanegara sebagai hafidz Al-Quran tidak
mendapatkan dana dari pemerintah sedangkan olahragawan di olimpiade mendapatkan
bonus 5 milyar karena mendapatkan medali emas. Beberapa diantara kita merasa
ini tidak adil, kenapa pemerintah tidak memberikan Musa dana untuk ke Mesir
sedangkan Lilyana – Tontowi bergelimang uang? Jawabannya ada beberapa hal
sebenarnya:
1) Orang-orang ini tidak mengerti konsep
struktur pemerintahan kita. Setiap kementerian memiliki jatah dana
masing-masing. Setiap kementerian, (dalam hal ini Musa vs Lilyana – Tontowi
adalah Kementerian Agama vs Kemenpora) memiliki jatah dana pada setiap agenda
kegiatan yang akan mereka ikuti. Kemenpora tentunya punya kalkulasi sendiri
tentang gelaran olimpiade begitupun Kementerian Agama.
Namun pertanyaannya apakah dananya
nanti cukup? Jawabannya adalah ada yang cukup, ada yang tidak. Bisa jadi,
Kemenpora RI masih memiliki dana lainnya yang memang sudah mereka persiapkan,
sedangkan Kementerian Agama? Seperti yang dijelaskan beberapa sahabat saya di
sosial media, bahkan untuk menghelat MTQ tingkat kabupaten saja, Kemenag level
kecamatan masih meminta bantuan masyarakat dan swasta, itu artinya, dana mereka
terbatas (kalau tidak mau dibilang tidak ada). Hal ini cukup dapat dimaklumi,
karena Indonesia memiliki 35 provinsi (mohon dikoreksi bila saya salah). Tentunya
untuk menghelat MTQ dari tingkat kabupaten sampai tingkat nasional membutuhkan
dana yang tidak sedikit. Lagi-lagi, saya mesti mengatakan bahwa kita (kalau
saya harus melihat diri saya sebagai muslim) mestinya bersyukur pemerintah,
dengan segala keterbatasan dananya di Kemenag masih bisa menghelat gelaran MTQ
sampai tingkat nasional.
Pada kenyataanya, gelaran PON tingkat
kabupaten sampai nasional untuk menyaring atlet-atlet berkualitas banyak
diantaranya adalah hasil kolaborasi, yaitu Pemprov, Kemenpora dan Dinas
Pendidikan setempat. Lalu pertanyaannya kenapa Kemenag tak bisa? Itu adalah
pertanyaan Kemenag sendiri yang mesti mereka pecahkan.
Terlebih lagi, dalam catatan APBN
tahun ini, Kemenag menempati urutan ke-4 sebagai penerima dana terbesar, lalu
kenapa kok habis? Silakan cek laporan
keuangan Kementerian Agama RI, jangan salahkan Kemenpora.
2) Kalaupun pemerintah memang harusnya membagi
rata semua dana di APBN, negara tetap harus memiliki konsep skala prioritas.
Seperti yang saya katakan di sosial media saya, bila semua orang meminta dana
sama rata tanpa melihat kapasitas dana yang negara miliki, maka kita bisa saja
jadi bangkrut. Tahun ini kita mengutamakan atlet-atlet olimpiade karena
momentumnya tepat; kita dapat emas, gelarannya 4 tahun sekali, dan bonus ini
bersyarat yaitu harus juara dan jumlah yang juara juga kenyataanya sedikit
(semoga banyak di olimpiade-olimpiade selanjutnya).
3) Meminta Kemenpora (secara implisit
memanggilnya dengan sebutan “pemerintah”) untuk mendanai Musa adalah hal konyol
karena itu memang bukan tanggungjawab Kemenpora, saya tak perlu menjelaskan
alasannya dengan panjang lebar karena dengan level pengetahuan dasar saja kita
sudah tahu jawabannya.
4) Dalam anggapan beberapa orang, bahwa
bonus Lilyana – Tontowi bersumber dari duitnya presiden. Mereka mungkin
berpikir bahwa Pak Jokowi mengeluarkan pernyataan “Berikan bonus 5 milyar itu,
sekarang!”, lalu tiba-tiba uang itu dating kepada kedua atlet tersebut.
Tentunya tak semudah itu, bung! Kita
negara yang menganut sistem demokrasi, maka transparansi dan akuntabilitas itu
mesti ada, mesti konsul sana konsul sini untuk menyediakan dana bagi
kepentingan tertentu.
Secara
keseluruhan, saya rasa tidak ada relevansi kasus sama sekali antara Musa dan
lilyana – Tontowi. Dan seperti yang saya jelaskan di awal, justru fenomena
seperti ini menunjukkan bahwa penjelasan Kompas dan UNDP adalah benar adanya,
kualitas pendidikan kita rendah, kita baru sampai pada level melihat dan
menghapal dan tidak bisa mengkonsep apalagi menganalisa.
Sialakan
tersinggung, menurut saya Musa dan Lilyana – Tontowi adalah korban dari
buruknya kualitas pendidikan Indonesia. Saya sebagai penulis tahu bahwa
fenomena janggal seperti ini juga tentunya terjadi di belahan bumi lain, namun
bila kita tetap belum bisa memperbaiki posisi IPM kita, terutama pendidikan,
maka jangan heran bila akan ada meme-meme
sejenis selanjutnya diperiode-periode yang akan datang.
Daftar Rujukan
Zaid Wahyudi, M. (2016). “Mempercepat
Pembangunan, Mengejar Ketertinggalan”. Kompas (27 Agustus 2016)
Comments
Post a Comment